Mengenal sosok seperti dia tak pernah kuduga sebelumnya, pribadi yang sangat menyenangkan dan mampu membuatku berbagi banyak hal bersamanya. Persahabatan kami pun berawal dari pertemanan yang kemudian menjelma menjadi sahabat yang berbagi banyak kisah, tentang kuliah, organisasi dan tentunya tentang kisah asmara masing – masing dari kami. Kami seringkali meluangkan sejenak waktu senggang untuk sekedar ngobrol di kantin kampus atau di depan sebuah mushola kecil dimana kami seringkali berpapasan dan kini itu menjadi sebuah kebiasaan. Semua mengalir begitu saja, dia sahabat yang mampu memberikan aku zona nyaman untuk berbagi banyak hal, menangis dan tertawa bersama bukan lagi jadi hal baru bagi kami.
Waktu terus bergulir, hampir dua tahun kami menjalin warna warni kisah persahabatan, hingga tiba pada satu titik dimana aku merasakan ada yang berbeda dari sikapnya padaku. Kecurigaan kakakku saat membaca pesan singkat yang dia kirimkan padaku saat liburan akhir
semester 4 kembali kuabaikan. “Udah dech nggak usah sembunyi – sembunyi
gitu, emang mama masih nggak kasih izin ya buat kamu pacaran, kan udah kuliah,
semester 5 lagi bolehlah kenal cowok, lagian mana mungkin kalau cuma temen
laporan kayak sama pacar gini,” ujar kakakku yang super bawel kalau ngebahas
masalah pasangan ku.
Entah karena aku
yang tak peka atau ini hanya praduga orang – orang disekeliling yang membuatku
mengabaikan semua perubahan sikapnya. Bagiku dia tetaplah sahabat dimana aku
berbagi cerita, dia selalu menasehati dan memberi semangat untuk menghadapi
setiap permasalahan yang kuhadapi, entah tentang organisasi, kuliah, persahabatan, dan
kisah cintaku. Semua masih tetap berjalan sebagaimana biasanya, meski ada
sedikit perubahan dari perhatiannya padaku yang mulai tak biasa, mulai dari
menemaniku liputan, memainkan gitarnya untuk sekedar membuatku tertawa, menikmati
terbit fajar dalam perjalanan pulang, dan banyak hal kecil yang awalnya
membuatku semakin nyaman berada didekatnya meski masih tetap tanpa perubahan rasa
sayang sebagai seorang sahabat.
Semua berawal
dari tantangan dua orang sahabatku, hingga cerita ini jadi begitu rumit untuk
ku urai. Kami jadian dalam sebuah skenario yang kami rancang dengan tujuan
masing – masing, meski dia pernah mengatakan bahwa baginya ini bukan permainan
dan dia mengatakan bahwa dia berutung menjalani kisah ini, tapi mungkinkah itu
sungguh – sungguh, aku masih meragu……
Berulang kali
kata cemburu ia lontarkan kala dia melihatku bersama teman – teman cowok yang
memang akrab denganku, namun bagiku itu hanya sebuah joke yang sering aku, dia dan teman – teman kami ungkapkan. Aku
masih bercerita banyak hal tentang termasuk tentang seorang cowok yang sedang
dekat denganku beberapa waktu terakhir, namun semua berujung seperti apa yang
dia katakan, aku sempat tak ingin mempercayainya tapi semua benar - benar
berakhir.
Aku masih
mengingat jelas saat dia tiba – tiba mengirim sebuah pesan singkat untukku
sesaat sebelum pendakian ku ke Mahameru, sebuah pesan yang bagiku kala itu
adalah sebuah nasehat dari seorang sahabat yang masih perduli padaku. “Kamu mau
hiking ke Mahameru ya, sama si ***?,
soalny dia juga mau kesana, udah kamu lupain dia aja ya, dia udah memilih buat
memilih yang lain dan kamu pantas buat dapetin yang jauh lebih baik, ya udah
kamu hati – hati ya, smoga pendakian mu menyenangkan,” penuh kehati – hatian
dia mengungkapkan smua pesannya malam itu yang hanya kujawab bahwa aku telah
melupakan seseorang yang selama ini mengusik pikiranku.
Kembali teringat
pada ucapan seseorang yang akrab kusapa dengan panggilan ayah, sebuah ungkapan
yang kembali memukul satu sisi hatiku, “bahwa ketika ayah harus memberikan
nilai untukmu maka ayah akan memberikan nilai 100 untuk banyak hal kecuali satu
perkara yakni cinta”. Aku kembali mempertanyakan pernyataan yang selalu ayah lontarkan tiap kali aku bertemu beliau,
apakah aku sebodoh itu dalam menanggapi lingkungan ku padahal aku selalu mampu membaca
keadaan teman – teman yang sedang mengalami permasalahan serupa, tapi mengapa
aku selalu kehilangan sensitifitas ku dalam hal ini ketika aku mengalaminya
sendiri…..
Aku selalu
bersyukur memiliki kakak – kakak dan para sahabat yang selalu perduli dengan
segala sesuatu tentangku, mereka selalu memahami bagaimana mengahadapi aku.
Semua menjadi titik awal dari perubahan sikapku padanya, berawal dari
perbincangan ku dengan seorang kakak, aku kembali mengurai tentang kecurigaan
yang mulai membuatku canggung dalam berkomunikasi dengannya. Sore ini kami
berkumpul dalam sebuah acara, disana lah aku mulai memahami sedikit demi
sedikit tentang makna dari setiap perubahan sikapnya padaku.
Ada sedikit
perasaan bersalah atas ketidakperdulianku padanya terlebih dengan perbincangan
ala canda yang mulai beredar tentang kami, aku hanya diam dan malah sering kali
menertawakan cerita- cerita itu, bahkan mengatakan padanya bahwa aku tak akan
pernah menjalin sebuah komitmen sebagai pasangan dengan sahabatku sendiri, dia hanya
menanggapi dengan sebuah kata yang cukup membuatku terhenyak bahwa “apapun
mungkin terjadi aku akan menerimanya dan jika Allah menghendaki maka aku pun
tak akan mengingkari putusan tentang aku dan kamu”.
Ya semua
berjalan dengan begitu lembut dan hari
ini semua mulai terjawab bahwa aku menikmati hariku dengannya. Proses yang semakin
membuatku belajar banyak hal dari sosoknya, dia yang selalu sabar menghadapi
sikap kekanak – kanakan ku, menguatkan aku kala aku mulai penat dengan
rutinitas dan lingkunganku, ya dia yang selalu menjaga ku dengan segala
kesabarannya dan aku tak pernah ingin meninggalkannya atau membuatnya marah
seperti yang terlalu sering kugoreskan. Berharap ukiran kisah ini akan
membuatku terus belajar untuk saling menjaga rasa dan toleransi diantara kami......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar