Rabu, 05 Juni 2013

Dia Sahabat, Dia Penjaga Hatiku



Mengenal sosok seperti dia tak pernah kuduga sebelumnya, pribadi yang sangat menyenangkan dan mampu membuatku berbagi banyak hal bersamanya. Persahabatan kami pun berawal dari pertemanan yang kemudian menjelma menjadi sahabat yang berbagi banyak kisah, tentang kuliah, organisasi dan tentunya tentang kisah asmara masing – masing dari kami. Kami seringkali meluangkan sejenak waktu senggang untuk sekedar ngobrol di kantin kampus atau di depan sebuah mushola kecil dimana kami seringkali berpapasan dan kini itu menjadi sebuah kebiasaan. Semua mengalir begitu saja, dia sahabat yang mampu memberikan aku zona nyaman untuk berbagi banyak hal, menangis dan tertawa bersama bukan lagi jadi hal baru bagi kami.

Waktu terus bergulir, hampir dua tahun kami menjalin warna warni kisah persahabatan, hingga tiba pada satu titik dimana aku merasakan ada yang berbeda dari sikapnya padaku. Kecurigaan kakakku saat membaca pesan singkat yang dia kirimkan padaku saat liburan akhir
semester 4 kembali kuabaikan. “Udah dech nggak usah sembunyi – sembunyi gitu, emang mama masih nggak kasih izin ya buat kamu pacaran, kan udah kuliah, semester 5 lagi bolehlah kenal cowok, lagian mana mungkin kalau cuma temen laporan kayak sama pacar gini,” ujar kakakku yang super bawel kalau ngebahas masalah pasangan ku.

Entah karena aku yang tak peka atau ini hanya praduga orang – orang disekeliling yang membuatku mengabaikan semua perubahan sikapnya. Bagiku dia tetaplah sahabat dimana aku berbagi cerita, dia selalu menasehati dan memberi semangat untuk menghadapi setiap permasalahan yang kuhadapi, entah  tentang organisasi, kuliah, persahabatan, dan kisah cintaku. Semua masih tetap berjalan sebagaimana biasanya, meski ada sedikit perubahan dari perhatiannya padaku yang mulai tak biasa, mulai dari menemaniku liputan, memainkan gitarnya untuk sekedar membuatku tertawa, menikmati terbit fajar dalam perjalanan pulang, dan banyak hal kecil yang awalnya membuatku semakin nyaman berada didekatnya meski masih tetap tanpa perubahan rasa sayang sebagai seorang sahabat.


Semua berawal dari tantangan dua orang sahabatku, hingga cerita ini jadi begitu rumit untuk ku urai. Kami jadian dalam sebuah skenario yang kami rancang dengan tujuan masing – masing, meski dia pernah mengatakan bahwa baginya ini bukan permainan dan dia mengatakan bahwa dia berutung menjalani kisah ini, tapi mungkinkah itu sungguh – sungguh, aku masih meragu……

Berulang kali kata cemburu ia lontarkan kala dia melihatku bersama teman – teman cowok yang memang akrab denganku, namun bagiku itu hanya sebuah joke yang sering aku, dia dan teman – teman kami ungkapkan. Aku masih bercerita banyak hal tentang termasuk tentang seorang cowok yang sedang dekat denganku beberapa waktu terakhir, namun semua berujung seperti apa yang dia katakan, aku sempat tak ingin mempercayainya tapi semua benar - benar berakhir.

Aku masih mengingat jelas saat dia tiba – tiba mengirim sebuah pesan singkat untukku sesaat sebelum pendakian ku ke Mahameru, sebuah pesan yang bagiku kala itu adalah sebuah nasehat dari seorang sahabat yang masih perduli padaku. “Kamu mau hiking ke Mahameru ya, sama si ***?, soalny dia juga mau kesana, udah kamu lupain dia aja ya, dia udah memilih buat memilih yang lain dan kamu pantas buat dapetin yang jauh lebih baik, ya udah kamu hati – hati ya, smoga pendakian mu menyenangkan,” penuh kehati – hatian dia mengungkapkan smua pesannya malam itu yang hanya kujawab bahwa aku telah melupakan seseorang yang selama ini mengusik pikiranku.

Kembali teringat pada ucapan seseorang yang akrab kusapa dengan panggilan ayah, sebuah ungkapan yang kembali memukul satu sisi hatiku, “bahwa ketika ayah harus memberikan nilai untukmu maka ayah akan memberikan nilai 100 untuk banyak hal kecuali satu perkara yakni cinta”. Aku kembali mempertanyakan pernyataan yang selalu   ayah lontarkan tiap kali aku bertemu beliau, apakah aku sebodoh itu dalam menanggapi lingkungan ku padahal aku selalu mampu membaca keadaan teman – teman yang sedang mengalami permasalahan serupa, tapi mengapa aku selalu kehilangan sensitifitas ku dalam hal ini ketika aku mengalaminya sendiri…..

Aku selalu bersyukur memiliki kakak – kakak dan para sahabat yang selalu perduli dengan segala sesuatu tentangku, mereka selalu memahami bagaimana mengahadapi aku. Semua menjadi titik awal dari perubahan sikapku padanya, berawal dari perbincangan ku dengan seorang kakak, aku kembali mengurai tentang kecurigaan yang mulai membuatku canggung dalam berkomunikasi dengannya. Sore ini kami berkumpul dalam sebuah acara, disana lah aku mulai memahami sedikit demi sedikit tentang makna dari setiap perubahan sikapnya padaku.

Ada sedikit perasaan bersalah atas ketidakperdulianku padanya terlebih dengan perbincangan ala canda yang mulai beredar tentang kami, aku hanya diam dan malah sering kali menertawakan cerita- cerita itu, bahkan mengatakan padanya bahwa aku tak akan pernah menjalin sebuah komitmen sebagai pasangan dengan sahabatku sendiri, dia hanya menanggapi dengan sebuah kata yang cukup membuatku terhenyak bahwa “apapun mungkin terjadi aku akan menerimanya dan jika Allah menghendaki maka aku pun tak akan mengingkari putusan tentang aku dan kamu”.


Ya semua berjalan dengan begitu lembut  dan hari ini semua mulai terjawab bahwa aku menikmati hariku dengannya. Proses yang semakin membuatku belajar banyak hal dari sosoknya, dia yang selalu sabar menghadapi sikap kekanak – kanakan ku, menguatkan aku kala aku mulai penat dengan rutinitas dan lingkunganku, ya dia yang selalu menjaga ku dengan segala kesabarannya dan aku tak pernah ingin meninggalkannya atau membuatnya marah seperti yang terlalu sering kugoreskan. Berharap ukiran kisah ini akan membuatku terus belajar untuk saling menjaga rasa dan toleransi diantara kami......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar