Malam ini genap seminggu usai
perayaan hari kelahiranku yang ke 21 tahun, hari yang selalu kusebut sebagai
pengingat kematian. Membuat aku harus bergerak mengejar impian yang terus menggangu
tidurku dikala aku hanya diam termangu menikmati terbitnya mentari hingga
menyambut senja yang memanjakan aku. Seminggu yang lalu kuterima pesan mu lewat
sebuah sosial media yang dulu sering membuatmu kesal padaku dengan melontarkan
tanya “mengapa kamu tidak mau terkoneksi dengan aku di sini ?” itu yang selalu
kutangkap dari gerak bibirmu. Sebuah jawaban yang tak pernah kuurai ditelingamu
bahwa aku terlalu sering bercerita tentangmu disana sebagaimana kau sering
berbagi disana, meski bukan tentangku. Aku tak ingin mengusik duniamu sebagaimana
aku tak ingin kau tau semua tentang pikirku hanya lewat permainan kata, aku ingin
kita saling berujar, saling menerka makna dengan memainkan not yang kita
mainkan lewat lisan.
Entah ini hari keberapa usai kita
memutuskan untuk berjalan di perputaran
kita masing – masing tanpa saling mengucapkan perpisahan. Andai saja kau
menemuiku dan mengatakan bahwa dirimu telah menemukan gadis lain yang lebih
mampu mengerti kamu, atau kamu menarik ucapanmu tentang keinginan untuk aku
terus berada disampingmu, saling mengingatkan dan merangkul mesra segala
perbedaan dengan penegasan bahwa kau tak ingin lagi ada aku di setiap pagi dan
malam mu. Aku rasa semua akan menjadi lebih mudah untuk aku melupakan bahwa aku
pernah begitu menikmati hariku sebagai sahabat sekaligus kekasihmu yang selalu
kau jaga dengan tidak menyentuhku.
Aku benci harus menghindarimu
setiap kita bertemu, aku tak pernah suka menatapmu sinis tiap kali mata kita
saling beradu, menganggapmu tak ada tak pernah mudah bagiku, lebih sulit
daripada ketika aku tak mengakui tentang kita di depan banyak orang dulu. Hal
ini lah yang selalu aku takutkan ketika dulu kau mengatakan bahwa aku harus
memasrahkaan kemana cerita kita akan bermuara, aku takut bila akhirnya aku juga
mencintaimu sebagaimana yang selalu kau ungkap sebagai sahabat yang jatuh hati
pada gadis yang tak pernah berani jatuh cinta lagi. Kau mengenal aku, itulah
yang membuat aku pada akhirnya membuat sebuah pintu agar kau bisa menemuiku
yang bersembunyi dibalik tembok keangkuhan yang kubangun.
Andai saja ada sebuah kata
kebencian yang kau utarakan padaku maka aku bisa membencimu sebagai seseorang
yang jahat, melukaiku. Bodoh mungkin, hingga detik dimana untuk kesekian kalinya
aku menangis dan meradang karena kau pergi namun tetap hadir semu dalam
kehidupanku seakan semua tentang kita masih dalam keadaan baik – baik saja, ya
andai benar – benar masih baik. Masih bolehkah aku mengatakan bahwa antara kita
belum berakhir karena aku masih sangat yakin bahwa rasa dan getaran itu masih
begitu kurasa setiap mata kita kembali beradu, meski kini dalam sepi.
Aku masih menangkap teduh matamu
yang selalu khawatir tentang aku, aku tau pasti tentang mu jauh lebih memahami
dari dirimu memahami sendiri. Pernah kutangkap sebuah alunan tentang
kekhawatiran yang kita menyelimuti pikirmu tentang sebuah kondisi semu yang
mengusik kembali maka ku katakan berhentilah menerka ketika aku tak lagi
menjawab karena kebiasaan itulah yang selalu membuat kita berseberangan
memahami satu sama lain hingga berujung gesekkan yang membuat aku tak
menyukaimu meski tak jua mampu menghapus bayanganmu. Mari kita simpan semua
rasa hingga saat itu datang untuk kita saling bicara mengutarakan segala
kebimbangan yang menyekap hati. Sebelumnya berjanjilah bahwa kau akan
membawakan aku bintang yang kau janjikan, bintang yang kau kumpulkan untuk
sebuah kegagahan selama satu periode perjalananmu tanpa ada aku disana,
disampingmu.
#berhenti mengirimi aku getaran
itu, karna kau membuat aku semakin lemah tanpamu disisiku
Tapi jangan pernah berhenti
mengabariku lewat ketukan jemari yang kau kirim lewat getar kerinduan yang
hanya mampu kutangkap lewat aksaraku
Aku masih disini, menunggumu
hingga kita saling beradu mesra dalam kata yang telah lama tertahan.