Dulu aku takut melihat hitam mu
meski ku tau kamu tak selamanya putih. Dulu aku takut bila suatu hari benci
hadir ketika mata menangkap hitam di sisi tubuhmu yang dulu bersandar di
pundakku. Aku pun mengerti bahwa aku memiliki hitam sebagaimana kamu memiliki
putih, namun dulu kabut bernama rasa telah lebih dahulu menutupi mata hingga
hitam tak lagi nampak.
Dan sekarang semua masih sama,
aku masih takut mengakui hitam mu, masih dengan alasan yang sama tentang kabut
bernama rasa yang tak beranjak barang se senti dari sukma.
Siang ini sembari mengobrol, abang
memainkan kembali si merah muda, masih ingatkah kamu tentang si biru dan merah
muda??? ya biru muda yang kuberikan
padamu tepat 21 Maret kemarin, di hari kamu mengingat perjuangan ibumu yang
merekah bahagia atas hadir putra perrtamanya. Baru saja kamu berjumpa dengan
abang kan, sekedar menatap dan aku bersyukur tak menyadari kehadiranmu, meski
rindu itu masih menghadirkan mu dalam setiap lelapku di malam hari. Cerita ku
kepada abang masih sama, masih menghadirkan namamu antara tawa dan perih yang
membumbui hati, aku masih teramat merindu.
Ini hanya tentang sebuah
gantungan yang dulu sepasang, biru ada padamu dan merah muda ini menggantung
manis di ponselku. Masih ponsel yang sama, ponsel yang dulu selalu kamu mainkan
gantungannya, kamu buka galerinya, ini yang merekam semua tentang kita di masa
itu. Masih kuingat betapa jahilnya tawamu menggodaku tentang si merah muda dan
biru, kamu tak bisa memasang si biru, bahkan hingga mereka tak kan berjumpa
lagi. Aku teramat menyukai merah muda karena dia yang menemaniku dari senyum
yang kamu toreh hingga luka yang kamu hunuskan begitu dalam. Benda ini lah yang
kemudian memfasilitasi kesalahan dalam
kita memahami tindakan satu sama lain hingga benteng itu terbangun berselimut
ego masing – masing dari kita.
Kamu tak keberatankan bila merah
muda masih menemaniku, bahkan ketika aku mulai tak perduli tentang kabar biru,
entah apa kabarnya. Abang mungkin lelah mendengar celotehan galau adik nya ini
tentang kamu, dia kakak yang baik bukan, menemani aku dan kamu bahkan hingga di
akhir cerita kita. Aku sangat bersyukur bahwa abang tak membencimu, karena
ketika benci itu hadir pada orang – orang disekeliling ku, kamu tahu betapa aku
kembali meradang. Mungkin kamu sudah melupa tentang kita, tapi aku tak mudah
melupa tentang kamu, aku masih dengan pikiran ku tentang apa kamu baik – baik saja,
masihkah kamu bercumbu mesra dengan batang yang mengepulkan asap menyesakkan,
tentang kesehatanmu yang selalu mengahdirkan cemas. Semoga kamu baik – baik disana.
Berjalanlah biarkan aku dengan diriku sendiri, menikmati kerinduan yang entah
kapan mampu aku sirnakan dari sini…..
Dulu tentang rindu.
Kini tentang rindu yang meradang
dan tanya tentang kabarmu