Rabu, 18 September 2013

DULU



Dulu aku takut melihat hitam mu meski ku tau kamu tak selamanya putih. Dulu aku takut bila suatu hari benci hadir ketika mata menangkap hitam di sisi tubuhmu yang dulu bersandar di pundakku. Aku pun mengerti bahwa aku memiliki hitam sebagaimana kamu memiliki putih, namun dulu kabut bernama rasa telah lebih dahulu menutupi mata hingga hitam tak lagi nampak.
Dan sekarang semua masih sama, aku masih takut mengakui hitam mu, masih dengan alasan yang sama tentang kabut bernama rasa yang tak beranjak barang se senti dari sukma.
Siang ini sembari mengobrol, abang memainkan kembali si merah muda, masih ingatkah kamu tentang si biru dan merah muda???  ya biru muda yang kuberikan padamu tepat 21 Maret kemarin, di hari kamu mengingat perjuangan ibumu yang merekah bahagia atas hadir putra perrtamanya. Baru saja kamu berjumpa dengan abang kan, sekedar menatap dan aku bersyukur tak menyadari kehadiranmu, meski rindu itu masih menghadirkan mu dalam setiap lelapku di malam hari. Cerita ku kepada abang masih sama, masih menghadirkan namamu antara tawa dan perih yang membumbui hati, aku masih teramat merindu.
Ini hanya tentang sebuah gantungan yang dulu sepasang, biru ada padamu dan merah muda ini menggantung manis di ponselku. Masih ponsel yang sama, ponsel yang dulu selalu kamu mainkan gantungannya, kamu buka galerinya, ini yang merekam semua tentang kita di masa itu. Masih kuingat betapa jahilnya tawamu menggodaku tentang si merah muda dan biru, kamu tak bisa memasang si biru, bahkan hingga mereka tak kan berjumpa lagi. Aku teramat menyukai merah muda karena dia yang menemaniku dari senyum yang kamu toreh hingga luka yang kamu hunuskan begitu dalam. Benda ini lah yang kemudian memfasilitasi  kesalahan dalam kita memahami tindakan satu sama lain hingga benteng itu terbangun berselimut ego masing – masing dari kita.
Kamu tak keberatankan bila merah muda masih menemaniku, bahkan ketika aku mulai tak perduli tentang kabar biru, entah apa kabarnya. Abang mungkin lelah mendengar celotehan galau adik nya ini tentang kamu, dia kakak yang baik bukan, menemani aku dan kamu bahkan hingga di akhir cerita kita. Aku sangat bersyukur bahwa abang tak membencimu, karena ketika benci itu hadir pada orang – orang disekeliling ku, kamu tahu betapa aku kembali meradang. Mungkin kamu sudah melupa tentang kita, tapi aku tak mudah melupa tentang kamu, aku masih dengan pikiran ku tentang apa kamu baik – baik saja, masihkah kamu bercumbu mesra dengan batang yang mengepulkan asap menyesakkan, tentang kesehatanmu yang selalu mengahdirkan cemas. Semoga kamu baik – baik disana. Berjalanlah biarkan aku dengan diriku sendiri, menikmati kerinduan yang entah kapan mampu aku sirnakan dari sini…..
Dulu tentang rindu.
Kini tentang rindu yang meradang dan tanya tentang kabarmu

Selasa, 10 September 2013

Bicara Tentang Candu


Menatapmu adalah hal yang teramat kubenci, taukah engkau tentang hal ini, pahamkah. Meringkuk, ketakutan mengerogoti tubuhku, terjerumus dalam tajamnya hunusan mata yang mengiringiku menyelami hatimu, hilang arah. Mungkin akan membuat setiap saraf tubuhmu tergelitik tak tertahankan kala indra mu mendengar alasanku. Betapa tatapan itu telah menjelma menjadi candu, kini. Aku meneteskan peluh, entah untuk berapa lama hanya agar mampu menatap bingkai hatimu dengan ketenangan. Aku berhasil, meski hanya cangkang.
Dimensi pikirku masih berkolaborasi dengan kedua bola mata, indahnya menikmati permainan lentik jemari yang mengurai tentang betapa candu masih begitu tak terkendali, belum mampu kumusnahkan. Aku sadar jika monitor di otakku telah mengatakan bahwa grafik semakin menunjukkan betapa kritisnya aku. Pernah aku bercengkrama dengan cahaya dan berujung pada tanya, tentang berapa banyak neotransmitter di tubuhku  yang telah menguap, lenyap, entah kemana, sebab candu.
Aku adalah perempuan, menjalani peranku secara alamiah sebagaimana ketukan nada yang selalu kau mainkan lewat senyapnya malam dipinggir perapian yang kau nyalakan bagiku. Wajar bukan jika aku menghapal setiap detail tentangmu di musim pertama kita saling memeluk mesra ego masing – masing, menyimpannya dengan kekuatan yang entah Dia hadirkan darimana.
Otakku merekam jejak- jejak yang telah mampu kutelusuri, tentang aku, tentang kamu. Mungkin akan tedengar sangat kekanakan saat ku mengakui bahwa aku menyimpan setiap pesan yang kau ukir untukku, terhitung saat kau lebih dulu memulai langkah. Aku takut jika suatu hari otak kecil dan besarku tak lagi seirama, kemudian aku kehilangan tumpukkan naskah tentangmu, aku takut, teramat. Lewat setiap visual yang terabadikan dalam kesederhaan, aku menjaga hati, belajar terus menumbuhkan rasa yang terkadang mulai terkikis dalam rutinitasmu yang mendorong aku terjembab di kursi kesekian dalam hidupmu.
Aku yang mencipta candu dari senyum dan manisnya dongeng yang kau bacakan sebelum lelapku. Mencipta percaya dari hangatnya genggaman dan hadirmu yang berikan pelukan erat, sandaran ternyaman bagi jiwaku. Aku perempuan, lagi dan lagi kukatakan bahwa sentuhan mu membuat oksitosin ku semakin menguap, mencipta percaya dan cinta meski sadar akan hati yang lagi dan lagi tergores.
Entah suara keberapa yang kini kutangkap, setelah suara – suara yang senada sebelumnya telah menghadirkan isak bahkan lebih menyesak dari malam ini. Insan- insan yang Tuhan hadirkan untuk mengingatkan tentang betapa aku menjadi katak bodoh yang setia menanti dalam kubangan lumpur, meski kau tak berkabar. Aku menangkap lebih karena ku menjalani setiap babaknya, mereka hanya menjadi pengamat yang setia mengingatkan aku dan kemudian menemani ku dalam rangkulan kesabaran kala aku sesak dalam isak.
Bulan malam ini telah menghadirkan sebuah cahaya yang menyadarkan aku dari tidur berkepanjangan, dan kini semua harus segera diakhiri, meski dengan ketidakdewasaan yang kuingin. Kembali menata setiap sudut ruang yang telah porak poranda karena ketidakhatianku menyusuri gerbong dalam perjalanan. Tak menyesal. Aku belajar. Belajar menjadi dewasa menghadapi pribadi yang ternyata membuatku candu dan jatuh.
#bincang tentang candumu

Sabtu, 07 September 2013

Terluka Pemintal Sendiri

Aku tak mengerti dimana semua bermula, hingga akhirnya aku berada dalam satu gerbong yang beriringan dengan gerbongmu. Menikmati sebuah perjalanan tak singkat, melewati berbagai titik yang tak pernah ku tau sebelumnya.
Aku juga tak pahami bagaimana cara mengakhiri perjalanan ini, terlalu menikmati, rumit. Berbincang dalam sunyi , sekejap. Dalam rasa yang masih terpaut dan terjaga. Lisan ini terlalu sombong untuk menunjukkan kemampuannya, ia tinggi, sulit tuk digapai.
Aku dan kamu bukan ahli nujum yang hebat dalam menerka, aku tak jua mampu membaca isi hati dan jalan pikiran mu, gumpalan benang, sepi. Membusuk dalam senyap kotak lama yang mulai usang, meringkuk, tak bersuara.
Peri peri kecil kembali mencumbu mesra aku malam ini, sebagaimana mereka pernah menyentuh kita dalam mesra beku dan gelapnya perputaran roda. Masih bisakah aku mendampingimu, meski tak lagi nyata disisimu.
Teramat luka menatap penatmu, masih bisakah aku menyentuh pundakmu yang dulu selalu jadi sandaran senduku, sekedar mengurangi lelahmu setelah berhari – hari tenggelam dalam hingar bingar dunia yang kau cintai.
Taukah engkau bagaimana melihat wajahmu semalam dengan rasa yang tak begeser barang satu centi, terkunci dalam tatapan hening, tiga puluh detik. Sentuhan itu kembali, masih sama rasanya, masih sama candunya, tak berkutik menahan rindu dan perih. Hadir tanya, tak lelah kah aku menangis pilu atas sebuah akhir yang membuat kita tak lagi saling menopang, aku lelah, tak mampu berpindah.
Andai pintu ajaib si kucing manis bernama doraemon mampu kumiliki mungkin aku akan meminta untuk dia memutar waktu, kembali lampau, atau kedepan lebih cepat. Salah jika aku masih merajut bunga dengan namamu meski tangan tergores karena pemintalnya. Aku masih tersenyum meski kau tau pasti yang terjadi, gejolak yang akan selalu kau pahami. Bahwa tak pernah mudah mengubah rasa, bagiku, mungkin bagimu.
#Dalam Gerbong Perjalanan Tiga Tahun Merajut Rasa Bersama mu schatje ♥

Hasil Semalam

wadahku sudah penuh
meluap,
tak lagi mampu menampung kesedihan yang terukir bagi jiwa diseberang
akhiri, ya kuakhiri malam ini
kebodohan yang telah menyekapku dalam kegilaan jiwa
sudahi,
jangan lagi kau gelayutkan harap dalam semu sikap
jauhi,
abaikan,
semua sikapnya tak akan lagi menyulap putusku jadi bahagiamu
Berakhir
jaring laba-laba telah lenyap dalam gelap malam
usang dalam ruang pengap tak berpenghuni…..

Jumat, 06 September 2013

Meradang Dalam Sebuah Kotak

Mentari baru saja menampakkan rupanya dihadapku. Dan beku masih menyelimutiku dengan mesranya. Taukah kau dimana keberadaanku sekarang, atau mungkin kita sama, sebagaimana aku kehilangan kabar tentangmu kini. Baiklah, kutitipkan kabar lewat bisikan kepada awan yang sedang berarak datang menghampiriku ya, agar kau tak lagi cemas tentang ku.
Selamat datang di kotak baruku, disini aku akan memulai sebuah kisah baru, awalnya. Dulu aku berkhayal akan mengajakmu kemari, menikmati suasana menenangkan, jauh dari kebisingan yang kita miliki, dulu. Membayangkan bagaimana dua gumpalan bernama hati akan kembali kita rajut dengan atmosfer baru tanpa topeng, aku berharap.
Aku menata semua dengan warnaku, aku menyukainya. Kotak baru ku sangat nyaman untuk ku melepas penat, menikmati kesunyian seperti yang selalu kuurai saat terakhir kita duduk bercengkrama dengan dinginnya kota terrcinta, malam terakhir sebelum semua benar-benar berakhir, kini. Ingin aku kirimkan visual yang mataku tangkap untukmu, hanya ingin kau tau ini sangat menyenangkan.
Aku ingin menagih sebuah janji, di malam terakhir tentang kita. Engkau akan menjadi yang terbaik yang pernah ada untukku, selalu. Aku baru saja membuka sebuah tumpukkan, aku menemukannya, sebuah berkas yang hendak kutinggalkan di kotak lama, berkas tentang dimensi setahun lalu, bersamamu. Untaian pemanis yang selalu membuatku kecanduan, meradang kini, hatiku.
Entah bagaimana sukma ketika menangkap hati baru yang mungkin kini ada disisi penjaga jiwa, dari masa lampau, kurun waktu teramat singkat. Akankah menjadi tegar atau akan terdiam, beku, hingga mati dalam sepinya jiwa. Aku tak tahu dan belum mampu mencipta penyangga agar tersandar dengan aman. Berdoa……
#pagi ditemani secangkir susu cokelat dengan berselimut kemesraan mentari, sendiri

Lengah

Menghirup kesegaran oksigen ditemani sang fajar yang baru saja menampakkan wajah aslinya, ia baru bangun dari lelap sepanjang malamnya. Beku, gemetar tubuhku dalam bungkus keheningan pagi, aku masih disini, dikota dimana kita mulai belajar berucap dan melangkah. Kornea mata ini baru saja menangkap seburat cahaya yang kemudian ditangkap oleh lensa mata cokelatku tentang sebuah alunan musik yang menceritakan tentang arti kehidupan. Bosankah engkau dengan tuturku…..dengarkan sebentar saja, ini bukan hanya tentang sebuah cerita cinta antar dua gumpal daging bernama hati. Rasa bukan hanya tentang seburat tawa, tapi ia sempurna lengkap dengan tetesan embun dan goresan luka, entah kapan keduanya akan kau kecap.
Hadir akan disuguhkan dengan manisnya kehilangan, sebagaimana kebahagiaanmu akan dijenguk oleh tangis kesedihan, aku pun tak tahu kapan dan bagaimana ia akan menyentuh setiap sudut kehidupan aku dan kamu.
Aku selalu bermimpi bahwa saat jarum jam memeluk mesra angka 24, maka Tuhan akan menghadiahkan aku. Jangan pernah berpikir ini tentang kotak besar dengan pita berwarna merah muda diatasnya, aku tak mau. Gadis kecil dengan untaian pita di gaun panjangnya masih sangat manja, ia ingin seorang pangeran berkuda datang dan menjemputnya. Engkau tahu tentang bagaimana aku menjaga nya selama 20 tahun kehidupanku. Aku masih bermimpi bahwa ia yang pertama akan menjadi selamanya, lengkapi, bagiku.
Kehadirannya sunguh tak tau diri, ia datang bagai anak kecil yang hendak menemani ku bermain dan bernyanyi, berlari mengelilingi taman dimana aku terbiasa menikmati hening. Tuhan, cerita apa yang tengah Engkau biarkan ia rajut di catatan mungilku. Keterbiasaan yang membuat ia masuk dan mengunci rapat ruang sunyiku tanpa sempat aku cegah.
Dan kini satu babak yang kembali harus kita urai setiap helainya, aku tak mau ini jadi gumpalan benang kusut yang berserakan di kotak kecilku. Aku pun menyadari betapa patahnya satu kepingan rasa dapat merobohkan benteng kokoh yang telah dibangun dengan kehati-hatian, aku kecolongan.
Menyesalkah…. Aku rasa tidak, karena sang pendengar kini mengerti tentang sebuah rasa yang hadir dengan paket yang sempurna, bukan sekedar analisa dan mendengar, tapi dapat merasa dengan hati yang dimiliki
Selalu bersyukur…..
#Usai menonton rectoverso ditemani secangkir cokelat panas digelas the simpson

Senin, 02 September 2013

Meradang Dalam Sebuah Kotak

Mentari baru saja menampakkan rupanya dihadapku. Dan beku masih menyelimutiku dengan mesranya. Taukah kau dimana keberadaanku sekarang, atau mungkin kita sama, sebagaimana aku kehilangan kabar tentangmu kini. Baiklah, kutitipkan kabar lewat bisikan kepada awan yang sedang berarak datang menghampiriku ya, agar kau tak lagi cemas tentang ku.
Selamat datang di kotak baruku, disini aku akan memulai sebuah kisah baru, awalnya. Dulu aku berkhayal akan mengajakmu kemari, menikmati suasana menenangkan, jauh dari kebisingan yang kita miliki, dulu. Membayangkan bagaimana dua gumpalan bernama hati akan kembali kita rajut dengan atmosfer baru tanpa topeng, aku berharap.
Aku menata semua dengan warnaku, aku menyukainya. Kotak baru ku sangat nyaman untuk ku melepas penat, menikmati kesunyian seperti yang selalu kuurai saat terakhir kita duduk bercengkrama dengan dinginnya kota terrcinta, malam terakhir sebelum semua benar-benar berakhir, kini. Ingin aku kirimkan visual yang mataku tangkap untukmu, hanya ingin kau tau ini sangat menyenangkan.
Aku ingin menagih sebuah janji, di malam terakhir tentang kita. Engkau akan menjadi yang terbaik yang pernah ada untukku, selalu. Aku baru saja membuka sebuah tumpukkan, aku menemukannya, sebuah berkas yang hendak kutinggalkan di kotak lama, berkas tentang dimensi setahun lalu, bersamamu. Untaian pemanis yang selalu membuatku kecanduan, meradang kini, hatiku.
Entah bagaimana sukma ketika menangkap hati baru yang mungkin kini ada disisi penjaga jiwa, dari masa lampau, kurun waktu teramat singkat. Akankah menjadi tegar atau akan terdiam, beku, hingga mati dalam sepinya jiwa. Aku tak tahu dan belum mampu mencipta penyangga agar tersandar dengan aman. Berdoa……
#pagi ditemani secangkir susu cokelat dengan berselimut kemesraan mentari, sendiri

Minggu, 01 September 2013

Semu Hanya Bagi Matamu

Aku tak pernah ingin mengatakan jika aku membencimu
Bahkan hingga detik ini
Detik dimana yang lain mengatakan kau tempramen
Bagiku kau hanya belum mampu mengendalikan emosimu
Meningalkan mu adalah pilihan terbaik, begitu yang saudaraku katakan
Namun aku masih disini, disampingmu
ya.....
Kini saat aku telah memutuskan pergi
Bukan karena aku ingin
Kau yang memintaku tuk pergi tinggalkanmu
Aku bertahan hingga kau menghujamku
Kurung aku disini
Ruang gelap
Aku tak bernafas lega
Hilang jejakmu
Dan.......
Aku hanya berharap kau mampu menjalani semua yang ada padamu hingga detik ini....
Jangan kirimkan aku berita sedih lagi
Aku hanya ingin dengar bahwa kau bahagia disana
Meski dengan sosok baru
Aku akan tersenyum untukmu
Tak tau hatiku......

Untukmu schaatje.....
Semoga kau bahagia disana
Aku masih ada, meski kau tak pernah tau apa yg kulakukan kini untukmu
karena kini aku tak nyata di matamu....