Selasa, 10 September 2013

Bicara Tentang Candu


Menatapmu adalah hal yang teramat kubenci, taukah engkau tentang hal ini, pahamkah. Meringkuk, ketakutan mengerogoti tubuhku, terjerumus dalam tajamnya hunusan mata yang mengiringiku menyelami hatimu, hilang arah. Mungkin akan membuat setiap saraf tubuhmu tergelitik tak tertahankan kala indra mu mendengar alasanku. Betapa tatapan itu telah menjelma menjadi candu, kini. Aku meneteskan peluh, entah untuk berapa lama hanya agar mampu menatap bingkai hatimu dengan ketenangan. Aku berhasil, meski hanya cangkang.
Dimensi pikirku masih berkolaborasi dengan kedua bola mata, indahnya menikmati permainan lentik jemari yang mengurai tentang betapa candu masih begitu tak terkendali, belum mampu kumusnahkan. Aku sadar jika monitor di otakku telah mengatakan bahwa grafik semakin menunjukkan betapa kritisnya aku. Pernah aku bercengkrama dengan cahaya dan berujung pada tanya, tentang berapa banyak neotransmitter di tubuhku  yang telah menguap, lenyap, entah kemana, sebab candu.
Aku adalah perempuan, menjalani peranku secara alamiah sebagaimana ketukan nada yang selalu kau mainkan lewat senyapnya malam dipinggir perapian yang kau nyalakan bagiku. Wajar bukan jika aku menghapal setiap detail tentangmu di musim pertama kita saling memeluk mesra ego masing – masing, menyimpannya dengan kekuatan yang entah Dia hadirkan darimana.
Otakku merekam jejak- jejak yang telah mampu kutelusuri, tentang aku, tentang kamu. Mungkin akan tedengar sangat kekanakan saat ku mengakui bahwa aku menyimpan setiap pesan yang kau ukir untukku, terhitung saat kau lebih dulu memulai langkah. Aku takut jika suatu hari otak kecil dan besarku tak lagi seirama, kemudian aku kehilangan tumpukkan naskah tentangmu, aku takut, teramat. Lewat setiap visual yang terabadikan dalam kesederhaan, aku menjaga hati, belajar terus menumbuhkan rasa yang terkadang mulai terkikis dalam rutinitasmu yang mendorong aku terjembab di kursi kesekian dalam hidupmu.
Aku yang mencipta candu dari senyum dan manisnya dongeng yang kau bacakan sebelum lelapku. Mencipta percaya dari hangatnya genggaman dan hadirmu yang berikan pelukan erat, sandaran ternyaman bagi jiwaku. Aku perempuan, lagi dan lagi kukatakan bahwa sentuhan mu membuat oksitosin ku semakin menguap, mencipta percaya dan cinta meski sadar akan hati yang lagi dan lagi tergores.
Entah suara keberapa yang kini kutangkap, setelah suara – suara yang senada sebelumnya telah menghadirkan isak bahkan lebih menyesak dari malam ini. Insan- insan yang Tuhan hadirkan untuk mengingatkan tentang betapa aku menjadi katak bodoh yang setia menanti dalam kubangan lumpur, meski kau tak berkabar. Aku menangkap lebih karena ku menjalani setiap babaknya, mereka hanya menjadi pengamat yang setia mengingatkan aku dan kemudian menemani ku dalam rangkulan kesabaran kala aku sesak dalam isak.
Bulan malam ini telah menghadirkan sebuah cahaya yang menyadarkan aku dari tidur berkepanjangan, dan kini semua harus segera diakhiri, meski dengan ketidakdewasaan yang kuingin. Kembali menata setiap sudut ruang yang telah porak poranda karena ketidakhatianku menyusuri gerbong dalam perjalanan. Tak menyesal. Aku belajar. Belajar menjadi dewasa menghadapi pribadi yang ternyata membuatku candu dan jatuh.
#bincang tentang candumu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar