Jumat, 06 September 2013

Lengah

Menghirup kesegaran oksigen ditemani sang fajar yang baru saja menampakkan wajah aslinya, ia baru bangun dari lelap sepanjang malamnya. Beku, gemetar tubuhku dalam bungkus keheningan pagi, aku masih disini, dikota dimana kita mulai belajar berucap dan melangkah. Kornea mata ini baru saja menangkap seburat cahaya yang kemudian ditangkap oleh lensa mata cokelatku tentang sebuah alunan musik yang menceritakan tentang arti kehidupan. Bosankah engkau dengan tuturku…..dengarkan sebentar saja, ini bukan hanya tentang sebuah cerita cinta antar dua gumpal daging bernama hati. Rasa bukan hanya tentang seburat tawa, tapi ia sempurna lengkap dengan tetesan embun dan goresan luka, entah kapan keduanya akan kau kecap.
Hadir akan disuguhkan dengan manisnya kehilangan, sebagaimana kebahagiaanmu akan dijenguk oleh tangis kesedihan, aku pun tak tahu kapan dan bagaimana ia akan menyentuh setiap sudut kehidupan aku dan kamu.
Aku selalu bermimpi bahwa saat jarum jam memeluk mesra angka 24, maka Tuhan akan menghadiahkan aku. Jangan pernah berpikir ini tentang kotak besar dengan pita berwarna merah muda diatasnya, aku tak mau. Gadis kecil dengan untaian pita di gaun panjangnya masih sangat manja, ia ingin seorang pangeran berkuda datang dan menjemputnya. Engkau tahu tentang bagaimana aku menjaga nya selama 20 tahun kehidupanku. Aku masih bermimpi bahwa ia yang pertama akan menjadi selamanya, lengkapi, bagiku.
Kehadirannya sunguh tak tau diri, ia datang bagai anak kecil yang hendak menemani ku bermain dan bernyanyi, berlari mengelilingi taman dimana aku terbiasa menikmati hening. Tuhan, cerita apa yang tengah Engkau biarkan ia rajut di catatan mungilku. Keterbiasaan yang membuat ia masuk dan mengunci rapat ruang sunyiku tanpa sempat aku cegah.
Dan kini satu babak yang kembali harus kita urai setiap helainya, aku tak mau ini jadi gumpalan benang kusut yang berserakan di kotak kecilku. Aku pun menyadari betapa patahnya satu kepingan rasa dapat merobohkan benteng kokoh yang telah dibangun dengan kehati-hatian, aku kecolongan.
Menyesalkah…. Aku rasa tidak, karena sang pendengar kini mengerti tentang sebuah rasa yang hadir dengan paket yang sempurna, bukan sekedar analisa dan mendengar, tapi dapat merasa dengan hati yang dimiliki
Selalu bersyukur…..
#Usai menonton rectoverso ditemani secangkir cokelat panas digelas the simpson

Tidak ada komentar:

Posting Komentar